HUKUM DAGANG ( KUHD )
Pengertian Hukum Dagang
Hukum dagang sejatinya adalah hukum perikatan yang timbul
dari lapangan perusahaan. Istilah perdagangan memiliki akar kata dagang. Dalam
kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah dagang diartikan sebagai pekerjaan
yang berhubungan dengan menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan.
Istilah dagang dipadankan dengan jual beli atau niaga.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang masih berlaku di
Indonesia berdasarkan Pasal 1 aturan peralihan UUD 1945 yang pada pokoknya
mengatur bahwa peraturan yang ada masih tetap berlaku sampai pemerintah
Indonesia memberlakukan aturan penggantinya. Di negeri Belanda sendiri Wetbook
van Koophandel telah mengalami perubahan, namun di Indonesia Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengalami perubahan yang komprehensif sebagai
suatu kodifikasi hukum. Namun demikian kondisi ini tidak berarti bahwa sejak
Indonesia merdeka, tidak ada pengembangan peraturan terhadap permasalahan
perniagaan. Perubahan pengaturan terjadi, namun tidak tersistematisasi dalam
kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Strategi perubahan pengaturan
terhadap masalah perniagaan di Indonesia dilakukan secara parsial (terhadap
substansi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dan membuat peraturan baru terhadap
substansi yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang pada dasarnya memuat
dua (2) substansi besar, yaitu tentang dagang pada umumnya dan tentang hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang terbit dari pelayaran.
Bursa yang diaitur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang telah mengalami perkembangan yang sangat pesat melalui lembaga pasar
modal sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan
Bursa Komoditi Berjangka yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 1997 tentang
Perdagangan Berjangka Komoditi. Terhadap ketentuan wesel, cek, promes,
sekalipun belum diubah tetapi lembaga surat berharga telah dilengkapi dengan
berbagai peraturan yang tingkatnya dibawah UU, khusus untuk Surat Utang Negara
(SUN), yang termasuk dalam kategori surat berharga, diatur dalam UU No. 24
Tahun 2002. Sementara tentang Pertanggungan (asuransi) telah berkembang menajdi
industri yang sangat besar. Pengaturan terhadap pertanggungan telah mengalami
perkembangan yang cukup mendasar, khususnya dengan diberlakukannya UU No. 2
Tahun 1992 tentang Perasuransian.
Hukum dagang Indonesia
terutama bersumber pada:
1. Sumber
tertulis yang dikodifikasikan:
a. Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b. Kitab
Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2. Hukum
tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu peraturan perundangan khusus yang
mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan perdagangan (C.S.T Kansil,
1985:7).
Sifat hukum dagang yang
merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan
perjanjian, sebanarnya merupakan bagian dari hukum perdata, khususnya
mengenai perikatan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang kita kenal
sebagai Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) buku III adalah tentang perikatan.
Jelaslah bahwa sumber hukum dagang Indonesia yang utama adalah KUHD dan KUHPer
(buku III). Hukum dagang merupakan lex specialis dan hukum perdata mengenai
perikatan merupakan lex generalis, yang berarti sepanjang hukum dagang (KUHD)
tidak mengatur akan berlaku hukum perikatan (KUHPer buku III) (Soedjono
Dirdjosisworo, 2006 : 1).
KUHD yang mulai berlaku di
Indonesia pada 1Mei 1848 terbagi atas dua dkitab dan 23 bab. Kitab I terdiri
dari 10 bab kitab II terdiri dari 13 bab. Isi pokok dari KUHD Indonesia itu
adalah:
1. Kitab
pertama berjudul : TENTANG DAGANG UMUMNYA yang memuat :
Bab I : dihapuskan (menurut
Stb. 1938/276 yang mulai berlaku pada 17 Juli 1938, Bab I yang berjudul : “Tentang
pedagang-pedagang dan tentang perbuatan dagang” yang meliputi pasal 2,3,4 dan
5telah dihapuskan).
Bab II : Tentang pemegangan
buku.
Bab III : Tentang beberapa
jenis perseroan.
Bab IV : Tentang
bursa dagang, makelar dan kasir.
Bab V : Tentang komisioner,
ekspeditur, pengangkut dan tentang juragan-juragan yang melalui sungai dan
perairan darat.
Bab VI : Tentang surat
wesel dan surat order.
Bab VII : Tentang cek,
promes dan kuitansi kepala pembawa (aan toonder).
Bab VIII : Tentang reklame
atau penuntutan kembali dalam hal kepailitan.
Bab IX : Tentang asuransi
atau pertanggungan seumumnya.
Bab X : Tentang
pertanggungan (asuransi) terhadap bahaya kebakaran, bahaya yang mengancam
hasil-hasil pertanian yang belum dipenuhi dan pertanggungan jiwa.
2. Kitab
kedua yang berjudul : TENTANG HAK-HAK DAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN YANG TERBIT DARI
PELAYARAN, yang memuat (Hukum Laut). (C.S.T. Kansil. 1985. Pokok-Pokok Hukum
Dagang Indonesia, Jakarta: Aksara baru. )
Hukum Utang Piutang
Kasus perjanjian hutang piutang adalah masalah perdata. Apabila ada pihak
yang tidak memenuhi perjanjian hutang piutang, maka dikenal dengan istilah
“Wanprestasi”. Wanprestasi adalah tidak terlaksananya prestasi karena
kesalahan pihak debitur baik karena kesengajaan atau kelalaian.
Perjanjian merupakan perbuatan hukum perdata yang diatur dalam Pasal
1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
Sedangkan perjanjian hutang-piutang atau perbuatan pinjam-meminjam
diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata.
Definisi Perjanjian
Adapun ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, perjanjian dapat dikatakan
sah secara hukum apabila terdapat empat syarat kumulatif:
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3.
Suatu hal tertentu.
4.
Suatu sebab yang halal.
Landasan Hukum
Di sisi lain, Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) berbunyi:
“Tidak seorangpun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau
kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban
dalam perjanjian utang piutang”
Dalam hal ini, walaupun pihak pemberi hutang melaporkan masalah
tersebut ke pihak berwajib, pengadilan tidak boleh memidanakan seseorang karena
ketidakmampuannya membayar utang.
Maka dari itu, sering kali pihak pemberi hutang malah melaporkan peminjam
dengan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”)tentang
Penggelapan dan/atau Pasal 378 KUHP tentang Penipuan:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu,
dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain
untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun
menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama
empat tahun” Walaupun begitu, mengacu pada dua pasal tersebut, agar
kasus dapat diproses secara pidana, harus terdapat niat jahat (mens
rea) dan perbuatan (actus reus) untuk dalam terpenuhinya
syarat-syarat pasal pidana tersebut.
Maka dari itu, terdapat pengecualian dalam hal pembayaran hutang
menggunakan cek kosong. Mengacu pada Yurisprudensi Mahkamah Agung No
1036K/PID/1989:
“bahwa sejak semula terdakwa telah dengan sadar
mengetahui bahwa cek-cek yang diberikan kepada saksi korban adalah tidak
didukung oleh dana atau dikenal sebagai cek kosong, sehingga dengan demikian
tuduhan “penipuan” harus dianggap terbukti.”
Dengan demikian, pembayaran dengan cek kosong dapat dikenakan Pasal 378
KUHP tentang Penipuan.
Kesimpulan: Pelaporan atau pengaduan ke pihak berwajib merupakan hak semua
orang, tetapi perkara tersebut belum tentu dapat naik ke proses peradilan (baik
Perdata maupun Pidana)
Hukum kontrak kerjasama
Beberapa
orang melakukan kerjasama bisnis dengan tujuan memajukan usaha. Dengan memiliki
rekan bisnis, beban modal akan terasa lebih ringan karena dibagi dua. Selain
itu, bersama seorang rekan, pengusaha dapat bertukar pikiran dalam
mendiskusikan hal-hal penting yang memiliki dampak besar pada bisnis.
Namun demikian, selisih paham kadang bisa terjadi. Untuk itulah diperlukan suatu perjanjian kerjasama antara kedua belah pihak. Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KHUPer), ada 4 syarat yang harus dipenuhi saat melakukan perjanjian:
Namun demikian, selisih paham kadang bisa terjadi. Untuk itulah diperlukan suatu perjanjian kerjasama antara kedua belah pihak. Menurut Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KHUPer), ada 4 syarat yang harus dipenuhi saat melakukan perjanjian:
Kesepakatan Kedua Belah Pihak
Kedua belah pihak yang
melakukan perjanjian harus sama-sama menyetujui terjadinya perjanjian tersebut;
tanpa adanya unsur paksaan, kekhilafan atau penipuan. Kedua belah pihak harus
sama-sama tahu mengenai hakekat obyek perjanjian.
Kecakapan dalam Membuat Perjanjian
Perjanjian tidak boleh
dilakukan oleh pihak-pihak yang dinyatakan “tidak cakap hukum”, yaitu orang
yang belum dewasa, berada di bawah pengampuan, serta semua pihak yang dilarang
melakukan perjanjian tertentu oleh Undang-Undang.
Mengenai Suatu Hal Tertentu
Perjanjian tersebut harus
membahas mengenai obyek tertentu. Pasal 1332 KUHPer menyebutkan bahwa hanya
barang yang dapat diperjualbelikan (dan tidak dilarang UU) yang dapat menjadi
obyek perjanjian.
Suatu Sebab yang Halal
Maksud dari sebab yang halal
(causa halal) di sini ialah bahwa perjanjian tersebut tidak dibuat berdasarkan
hal yang dilarang hukum. Isi perjanjian tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang.
Itulah keempat syarat sah
perjanjian kerjasama bisnis yang perlu diketahui. Kegagalan memenuhi salah satu
syarat tersebut berpotensi pada batalnya kekuatan hukum atas perjanjian
tersebut.
Hubungan
Kerja (Hubungan Hukum Karyawan dengan Perusahaan)
Perjanjian yang dibuat antara 2 pihak
antara pihak pekerja dengan pihak majikan yang melahirkan hak dan kewajiban.
Hubungan kerja ada disebabkan karena adanya perjanjian. Perjanjian ini
mengakibatkan perikatan. Dalam KUHPer, selain perjanjian kerja, ada juga
dikenal dengan perjanjian kerja lain yang kemudian dikenal dengan sebutan “perjanjian melakukan kerja” dan “perjanjian pemborongan”.
1. Perjanjian kerja
Ada unsur atasan dan bawahan. Objeknya
adalah pekerjaan dibawah perintah dan ada upah dan waktunya tertentu.
2. Perjanjian melakukan pekerjaan
Subjek hukum kedudukannya sama. Ada
honorarium, tidak ada perintah, waktunya tertentu dan tidak ada tuntutan.
3. Perjanjian pemborongan
Suatu perjanjian dimana pihak yang
satu, pemborong, mengikatkan diri untuk membuat satu karya tertentu bagi pihak
lain, yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu.
B. PERJANJIAN KERJA
Menurut Prof. Soebekti memberikan
pengertian perjanjian kerja ialah perjanjian antara seorang buruh dengan seorang
majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri :
1.
Ada upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan
2.
Adanya hubungan diperatas, yaitu suatu hubungan
berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah yang
harus ditaati oleh orang lain.
Jika kita perhatikan rumusan
perjanjian kerja di atas dapat disimpulkan paling tidak ada empat unsur agar
suatu perjanjian dapat disebut sebagai perjanjian kerja, yaitu : (1) ada
pekerjaan, (2) ada upah, (3) di bawah perintah, dan (4) waktu tertentu.
C. BENTUK PERJANJIAN KERJA
Dalam KUHPer tidak diatur mengenai
bentuk perjanjian kerja, maka bisa dikatakan perjanjian kerja dapat dibuat
secara lisan dan tertulis. Hanya saja, jika perjanjian itu tertulis, biaya akta
dan lainnya biaya tambahan akan ditanggung oleh majikan (1601 KUHPer). Terhadap
kebebasan bentuk perjanjian kerja ini ada pengecualiannya, yaitu mengenai
perjanjian kerja di laut dan perjanjian kerja di perkebunan.
1. Perjanjian kerja di laut
Dalam pasal 399 KUHD perjanjian kerja
antara seorang pengusaha danburuh, yang berlaku sebagai nahkoda dan perwira
kapal, dengan ancaman batal, harus dibuat secara tertulis. Tanpa adanya
perjanjian dalam bentuk tertulis tidak ada perjanjian kerja.
2. Perjanjian kerja di perkebunan
Berbeda dengan perjanjian kerja di
laut, jika tidak ada perjanjian tertulis, tidak ada perjanjian kerja. Jika di
perkebunan tetap ada, hanya saja majikan diancam pidana. Dalam Vrije Arbeidsregeling, pasal 1 ayat 1 menegaskan bahwa
majikan wajib mencatat dalam daftar menurut contoh yang ditetapkan oleh atau
atas nama pemerintah, nama buruh yang bekerja padanya dengan menyebutkan
permulaan dan berakhirnya perjanjian kerja serta upah yang telah disetujui dan
pinjaman buruh.
Pembebanan kewajiban melakukan
pencatatan mengenai beberapa hal tersebut dimaksudkan untuk kepentingan buruh.
Sebab dengan pencatatan tersebut segera diketahui pihak-pihak tertentu,
termasuk pemerintah, apakah majikan melanggar peraturan perundang-undangan atau
tidak.
D. SUBJEK PERJANJIAN
KERJA
Salah satu syarat sahnya perjanjian
ialah kecakapan. Kecakapan ini merupakan salah satu syarat subjektif
perjanjian. Syarat subjektif lainnya adalah kesepakatan. Orang yang cakap
membuat perjanjian adalah orang dewasa yang mampu bertanggung jawab.
Undang-undang menegaskan bahwa orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah
orang yang belum dewasa, orang yang berada di bawah pengampuan, dan orang
perempuan yang oleh undang-undnag dilarang membuat perjanjian.
E. ISI PERJANJIAN KERJA
Isi perjanjian kerja, sebagaimana isi
perjanjian pada umumnya, tidak boleh bertentangan dengan UU, kesusilaan, dan
ketertiban umum. Dikatakan bertentangan dengan UU apabila isi perjanjian kerja
bertentangan dengan keharusan yang diberikan UU. Sanksi yang diberikan terhadap
pelanggaran tersebut bermacam-macam, dapat merupakan kebatalan atau pidana.
Isi perjanjian kerja yang lainnya
adalah :
1. Kewajiban buruh (Karyawan)
1.
Melakukan pekerjaan
2.
Mentaati aturan-aturan tentang pekerjaan
3.
Membayar ganti rugi dan denda jika terjadi
kesalahan
2. Kewajiban Majikan (Perusahaan)
1.
Membayar upah
2.
Mengatur pekerjaan dan tempat kerja
3.
Memberi cuti
4.
Memberikan surat keterangan
5.
Mengurus peralatan dan pengobatan
F. PERPANJANGAN
PERJANJIAN KERJA
Perjanjian yang dibuat untuk waktu
tertentu berakhir apabila waktunya telah habis. Perjanjian kerja yang telah
habis dapat diperpanjang waktunya. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana
perjanjian kerja yang dibuat untuk waktu tertentu, tetapi kemudian setelah
waktunya habis, buruh tetap melakukan pekerjaannnya dan majikan tidka
keberatan.
Dalam hal hubungan kerja yang
diperpanjang berlangsung untuk waktu kurang dari enam bulan, maka hubungan
kerja tersebut dipandang diadakan waktu tidak tertentu, tetapi selainnya dengan
syarat yang lama.
G. PERPINDAHAN PERJANJIAN
KERJA
Yang akan dibahas berikut ini adalah
tentang bagaimana dalam suatu perjanjian kerja terjadi pergantian. Misalnya
dalam hal penjualan perusahaan yang mengakibatkan pergantian majikan.
Pertanyaan yang imbul adalah (1) haruskah majikan yang baru menerima
buruh untuk tetap bekerja dengan segala syarat yang lama, (2) haruskah buruh tetap bekerja pada
majikan yang baru. Yang jelas KUHPer tidak mengatur hal itu dnegan tegas.
Jawaban atas persoalan ini diperoleh atas penafsiran hukum yang didasarkan pada
hakikat hukum perburuhan. Yakni melindungi buruh.
H. PERJANJIAN PERBURUHAN
1. Pengertian
Perjanjian perburuhan ialah perjanjian
yang diselenggarakan oleh serikat atau serikat-serikat buruh yang telah
terdaftar pada Kementrian Perburuhan dengan majikan, maikan-majikan,
perkumpulan majikan berbadan hukum yang pada umumnya atau semata-mata memuat
syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam perjanjian kerja (pasal 1 (1) UU
No. 21 Tahun 1954).
Dalam pengertian tentang perjanjian
perburuhan yang tercantum dalam UU No. 21 Tahun 1954 dapat disimpulkan ada dua
hal, yaitu tentang subjek perjanjian perburuhan dan objek perjanjian
perburuhan.
2. Subjek perjanjian perburuhan
Ada dua pihak, yaitu pihak serikat
buruh atau serikat-serikat buruh dan pihak majikan atau majikan-majikan atau
perkumpulan majikan yang berbadan hukum.
3. Objek perjanjian perburuhan
Objek perjanjian perburuhan atau isi
perjanjian perburuhan pada umumnya adalah syarat-syarat yang harus dieprhatikan
dalam pembuatan perjanjian kerja. Ia merupakan hasil perundingan antara
pihak-pihak dalam perjanjian perburuhan yang mendekati keinginan buruh dan
majikan. Inilah yang membedakan perjanjian perburuhan dengan peraturan majikan.
Yang disebutkan terakhir ini sepenuhnya merupakan keinginan majikan, sehingga
tidak jarang mengandung hal hal yang merugikan buruh.
4. Syarat perjanjian perburuhan
Menurut pasal 2(1) UU No 21 Tahun 1954 dan Permen No. 49 Tahun 1954 tentang Cara Membuat dan Mengatur
Perjanjian Perburuhan,
yaitu:
a.
Perjanjian perburuhan harus dibuat dalam bentuk tertulis dan ditandatangani
oleh kedua pihak, atau dibuat dalam bentuk akta otentik atau akta resmi
b. Perjanjian
perburuhan harus memuat :
1.
Nama, tempat kedudukan serta alamat serikat buruh
2.
Nama, tempat kedudukan serta alamat majikan atau
perkumpulan majikan yang berbadan hukum
3.
Nomor serta tanggal pendaftaran serikat buruh pada
Kementrian Perburuhan
c. Perjanjian
perburuhan harus dibuat sekurang-kurangnya rangkap tiga. Kementrian Perburuhan
harus diberi satu lembar untuk dimasukkan dalam daftar.
d. Perjanjian perburuhan hanya
dapat diselenggarakan untuk waktu paling lam dua tahun. Waktu ini dapat
diperpanjang paling lama satu tahun.
5. Hubungan antara perjanjian perburuhan dengan
perjanjian kerja
Hubungan antara
perjanjian perburuhan dengan perjanjian kerja ialah bahwa perjanjian perburuhan
memuat klausa-klausa yang harus dipenuhi apabila majikan dan buruh hendak
membuat perjanjian kerja. Oleh karena itu perjanjian perburuhan merupakan
sumber daripada perjanjian kerja, dengan ketentuan sudah ada perjanjian
perburuhan yang mengikat mereka (majikan dan buruh).
6.
Peraturan perusahaan
Peraturan perusahaan atau reglemen perusahaan di dalamnya berisi tentang
syarat-syarat kerja yang berlaku bagi sebagian atau seluruh buruh yang bekerja
pada perusahaan (atau majikan) itu. Ada perbedaan antara peraturan perusahaan
dengan perjanjian perburuhan. Perbedaannya ialah peraturan perusahaan dibuat secara
sepihak oleh perusaaan atau majikan, sedang perjanjian perburuhan dibuat dan
ditentukan bersama antara serikat buruh dengan serikat pengusaha (majikan).
Karena dibuat secara sepihak, maka sudah jelas bahwa isinya adalah
memaksimalkan kewajiban buruh dan meminimalkan hak buruh, serta memaksimalkan
hak majikan dan meminimalkan kewajiban majikan.
Oleh karena adanya hal di atas maka
dalam pasal 1601j KUHPer ditegaskan bahwa peraturan perusahaan
hanya mengikat buruh apabila buruh secara tertulis menyatakan persetujuannya
terhadap peraturan perusahaan tersebut. Jika tidak demikian, akan sangat tidak
adil jika buruh harus melakukan sesuatu yang tidak pernah ia setujui atau
snaggupi. Persetujuan tertulis dari buruh saja tidak cukup membuat peraturan
perusahaan yang mengikat buruh, sebab masih ada syarat lainnya, yaitu :
1.
Selembar lengkap peraturan perusahaan itu diberikan
kepada buruh secara cuma-cuma
2.
Oleh atau atas nama majikan telah diserahkan kepada
Kementrian Perburuhan selembar lengkap peraturan perusahaan yang telah
ditandatangani oleh pengusaha dan tersedia dibaca oleh umum.
3.
Selembar lengkap peraturan perusahaan ditempelkan
dan tetap berada di suatu tempat yang mudah didatangi buruh, dan sedapat
mungkin dalam ruangan bekerja, hingga dapat dibaca dengan terang.
Syarat-syarat
kumulatif yang terdapat dalam pasal 1601j tersebut pada dasarnya dimaksudkan
supaya majikan tidak secara sepihak bermaksud menguntungkan dirinya dengan cara
membebankan banyak kewajiban kepada buruh.
Komentar
Posting Komentar